Kalau ada kata sepakat ulama (ijma’ ulama), maka tidak boleh diselisihi. Bahkan disepakati ulama bahwa kesepakatan ulama wajib diikuti.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa ijma’ (kata sepakat ulama) disepakati sebagai dalil yang mesti diikuti. Hal ini disepakati oleh seluruh kaum muslimin dari kalangan fuqaha’, sufiyah dan ahli hadits, bahkan disepakati oleh ahli kalam secara umum. Sedangkan yang mengingkari ijma’ sebagai dalil adalah ahli bid’ah dari kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah. Yang dipahami sebagai ijma’ adalah kesepakatan para sahabat. Adapun generasi setelah sahabat, ada penghalang untuk mengetahui kalau mereka semua sepakat. Oleh karena itu, para ulama berselisih pendapat tentang teranggapnya ijma’ setelah masa sahabat apakah berlaku ataukah tidak. Begitu pula yang diperselisihkan adalah ijma’ tabi’in yang diambil dari salah satu perkataan dari dua sahabat. Juga yang diperselisihkan adalah ijma’ yang terjadi di suatu masa lantas diselisihi oleh ulama yang datang belakangan. Begitu pula yang diperselisihkan adalah ijma’ sukuti (yaitu kesepakatan yang tidak diingkari lainnya, pen.).” (Majmu’ah Al-Fatawa, 11: 341)
Berikut adalah dalil-dalil pendukung ijma’ (kata sepakat ulama) wajib diikuti dan haram ditinggalkan.
Dalil Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) ulama kaum muslimin. Ayat ini menunjukkan bahwa mengikuti ijma’ itu wajib, menyelisihinya itu haram.
Dalil lainnya adalah ayat,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali ‘Imran: 110).
Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun ijma’ (kesepatan ulama kaum muslimin, pen.) itu benar adanya. Karena umat ini walhamdulillah tidaklah mungkin bersatu dalam kesesatan. Sebagaimana Allah telah menyifatinya dalam Al-Kitab dan As-Sunnah.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 19: 177)
Berdasarkan ayat tersebut, Ibnu Taimiyah berkata pula, “Seandainya umat sepakat menyuarakan kesesatan dalam agama, tentu mereka tidak dikatakan memerintahkan pada yang makruf dan melarang dari yang mungkar.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 19: 177)
Dalil lainnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143).
Ibnu Taimiyah berkata, “Wasath dalam ayat berarti pilihan. Allah telah menjadikan mereka saksi bagi manusia, di mana persaksian tersebut menggantikan persaksian Rasul.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 19: 177). Berarti ijma’ atau kesepakatan ulama adalah dalil yang tidak boleh diselisihi.
Dalil Hadits
Ketika Umar berkhutbah, ia menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
“Siapa yang menginginkan tempat yang mulia di surga, maka ikutilah al-jama’ah.” (HR. Tirmidzi no. 2165. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Yang dimaksud dengan al-jama’ah di sini adalah bukan jama’ah dengan bersatunya badan. Namun yang dimaksud adalah jama’ah ulama kaum muslimin. Siapa yang mengikuti mereka, itulah yang telah mengikuti al-jama’ah. Siapa yang menyelisihi kesepakatan mereka, berarti mereka telah menyelisihi jama’ah yang telah diperintahkan untuk diikuti. Demikian alasan dari Imam Asy-Syafi’i dalam Ar-Risalah hlm. 475-476.
Dalam hadits disebutkan,
إِنَّ أُمَّتِى لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3950. Sanad hadits ini dha’if jiddan)
Dua hadits di atas menunjukkan dua hal yaitu:
- wajib mengikuti al-jama’ah yaitu yang disepakati kaum muslimin dan diharamkan untuk meninggalkan dan menyelisihinya.
- selamatnya umat ini dari kesalahan dan kesesatan.
Kesimpulannya, apa yang disepakati oleh umat (para ulama) pastilah benar. Juga menunjukkan kalau ijma’ berlaku untuk setiap zaman, baik berlaku di zaman sahabat dan zaman setelah itu.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, tahun 1432 H. Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah Al-Harrani. Penerbit Dar Al-Wafa’.
Ma’alim Ushu Al-Fiqh ‘inda Ahli As-Sunnah wa Al-Jama’ah. Cetakan kesembilan, tahun 1431 H. Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizani. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
—
Selesai disusun menjelang ‘Ashar, 14 Dzulhijjah 1436 H, di Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans), Facebook Muhammad Abduh Tuasikal, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom
Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.